Sebuah cita-cita besar membutuhkan laki-laki besar. Sebuah cita-cita luhur membutuhkan manusia-manusia luhur yang sama luhurnya dengan cita-cita itu. Karena itu, jika Islam adalah konsep agung yang sangat jelas memaparkan sebuah kehidupan yang ideal yang diinginkan Allah, maka Rasulullah dan para shahabat adalah manusia-manusia besar yang pernah membumikan keindahan Islam sehingga ia berkilau dengan indahnya.
Sekarang masalahnya adalah risalah yang agung ini tidak lagi dipikul oleh manusia-manusia agung. Agama besar ini tidak lagi diemban oleh manusia-manusia besar. Padahal ummat kita hari ini terus dizhalimi. Dimana-mana kehidupan kaum muslimin terpojok di sudut-sudut kehinaan. Dan yang akan mengangkat mereka dari keterpojokan hanyalah Islam. Yang akan membela mereka dari kezhaliman adalah orang-orang agung. Kalau Islam ini kita umpamakan seperti cahaya, maka cahaya itu terhalang dan tidak lagi menerangi kaum Muslimin yang merangkak dalam kegelapan. Kalau kita ibaratkan manusia agung sebagai pembawa obor, maka dalam kondisi seperti itu hampir tak ada lagi pembawa obor yang benar-benar menerangi. Yang ada adalah mereka yang membawa lilin yang hanya cukup untuk menerangi diri sendiri. Cahaya itu benar-benar terhalang oleh tembok tebal sehingga seakan manusia-manusia Muslim yang ada di baliknya meraba-raba dalam kegelapan. Itulah realita kita.
Kalau kita mencermati lembaran sirah Rasulullah, maka kita akan melihat bahwa beliau adalah orang yang memiliki cita-cita besar. Tapi beliau sadar sesadarnya bahwa cita-cita agung harus didukung oleh manusia-manusia agung. Beliau -shallallahu ‘alayhi wa sallam- tidak sekedar bercita-cita. Tapi beliau mempersiapkan orang-orang besar guna meraih cita-cita besar itu. Selama 23 tahun kurang lebih, pekerjaan beliau yang sangat menonjol adalah “membibit” generasi.
Semoga Allah meridhai Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang memiliki kecerdasan yang lebih. Beliau tahu persis apa yang dibutuhkan ummat yang terpuruk agar bisa bangkit. Dengan intuisi yang tajam khalifah brilian ini memberi solusi jitu. Coba simak potongan kisah ini:
Di salah satu rumah dari sekian rumah yang terdapat di kota Madinah, Umar duduk bersama sahabat-sahabatnya. Beliau berkata, “Bercita-citalah!” Salah seorang di antara mereka berkata, “Saya bercita-cita seandainya rumah ini penuh dengan emas, niscaya saya akan infaqkan di jalan Allah.” Lalu Umar berkata lagi, “Bercita-citalah!” Sahabat yang lain berkata, “Saya bercita-cita seandainya rumah ini penuh dengan mutiara, zamrud dan permata niscaya saya akan menginfaqkannya di jalan Allah dan menyedekahkannya.” Umar berkata lagi, “Bercita-citalah!” Para sahabatnya berkata serempak, “Kami tidak tahu apa lagi yang harus kami katakan wahai Amirul Mu’minin.” Lalu Umar berkata, “Saya bercita-cita tampilnya orang-orang seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, dan Salim budak Abu Hudzaifah, niscaya saya akan meminta bantuan mereka guna menegakkan kalimatullah.”
Dengan demikian, tugas kita yang sangat mendesak adalah mendekatkan jarak antara cita-cita besar kita dan realita kaum Muslimin saat ini dengan mencetak generasi yang berkualifikasi “laki-laki”.
Search
Komentar
Social Networks
Arsip Blog
- Agustus 2012 (3)
- September 2012 (3)
- Oktober 2012 (2)
- November 2012 (4)
- Desember 2012 (1)
- Januari 2013 (1)
- Februari 2013 (1)
Some Rights Reserved
Blog by OSIS SMA Wahdah is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Semua artikel di blog ini memiliki hak cipta meskipun tidak dilindungi oleh undang-undang. Artikel-artikel tersebut boleh di-copy asal sumbernya diikutsertakan. Terima kasih.