Kewajiban Menuntut Ilmu

[MIB] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk: 2)

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. al-Kahfi: 7)

Dari kedua ayat tersebut bisa kita lihat, Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kata “ahsanu ‘amala” atau yang paling baik amalnya, dan bukan menggunakan kata “aktsaru ‘amala” atau yang paling banyak amalnya. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa tujuan penciptaan hidup dan mati, penciptaan bumi dengan segala keindahannya, adalah untuk menguji siapa di antara hamba Allah yang “paling baik” amalnya; meskipun tidak dipungkiri bahwa banyaknya amal juga tentu memiliki pengaruh terhadap kedudukan seorang hamba di sisi Rabbnya, namun yang utama adalah baik tidaknya amalan tadi.

Lalu, amalan seperti apakah yang dikehendaki oleh Allah tersebut? Atau amalan seperti apakah yang dimaksud dengan “ahsanu ‘amala” tadi?


Berkata Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, bahwa amal yang paling baik itu adalah: (1) amalan yang paling ikhlash, dan (2) yang paling benar.

Ikhlash

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa di akhirat nanti yang paling pertama dihisab adalah: seorang yang mati syahid; seorang yang menuntut ilmu agama; seorang yang diberi kelapangan harta oleh Allah lalu ia berinfaq dan bershadaqah dengannya. Namun ketiganya tidak diterima amalannya karena mengharap pujian dari manusia (tidak ikhlash).

Benar

Muncul pertanyaan baru: Jika memang ada amalan yang benar, tentu ada pula amalan yang salah; lalu bagaimana amalan yang benar itu? Jawabannya, amalan yang benar adalah amalan yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Lalu bagaimana kita mengetahuinya? Dengan jalan menuntut ilmu. Ya, menuntut ilmu.

Karena ibadah yang dikerjakan tanpa didasari oleh ilmu, kemungkinannya hanya ada dua: (1) ngawur, ibadah yang dikerjakannya hanya merupakan buah dari terkaannya saja, jauh dari apa yang dicontohkan Nabi; atau (2) taqlid, yaitu ikut-ikutan dengan orang lain yang dilihatnya, tanpa mengetahui apakah yang diikutinya itu mengerjakan demikian di atas dasar ilmu atau sekedar ngawur atau ikut-ikutan dari orang ngawur juga.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan menempuh jalannya sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. al-Isra: 19)

Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa ada usaha yang dibalas oleh Allah, yang berarti ada pula usaha yang tidak memperoleh balasan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dan usaha yang dibalas (dengan balasan yang baik) oleh Allah itu adalah yang: (1) dilakukan dengan menghendaki kehidupan akhirat (baca: ikhlash); (2) ditempuh pada jalannya (baca: mutaba’ah, mengikut kepada apa yang dicontohkan oleh Nabi); dan (3) dikerjakan oleh seorang mukmin.

Dan sekali lagi, satu-satunya cara untuk kita bisa mengetahui apakah sebuah amalan itu telah berada pada jalannya atau tidak, adalah dengan menuntut ilmu. Karenanya kita katakan, menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.

Definisi Ilmu

al-’Ilmu secara bahasa berarti mengetahui sesuatu sebagaimana hakikatnya, kenyataannya. Adapun secara istilah, ia bermakna: ilmu atau pengetahuan atau nash al-Qur’an maupun Sunnah.

Berkata ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: Ilmu itu tiga: (1) Kitabullah, (2) Sunnah, (3) Perkataan “Laa adriy” atau “Saya tidak tahu”.

Perkataan “Saya tidak tahu” termasuk bagian dari ilmu? Ya, karena yang demikian setidaknya menunjukkan bahwa ia mengilmui atau mengetahui bahwasanya dirinya tidak tahu.

Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullah: Ilmu adalah apa yang di dalamnya ada perkataan “Qaala” atau “Haddatsanaa”.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Ilmu adalah perkataan Allah, Rasulullah, atau Shahabat.

Hematnya, yang dimaksud dengan al-’Ilmu di sini adalah, ilmu agama. Jadi jika dikatakan, menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, maksudnya adalah: Setiap muslim itu wajib mempelajari agamanya sesuai dengan kewajiban yang jatuh atasnya. Contoh: seorang yang mengaku muslim, maka ia wajib mengetahui perkara-perkara yang berkaitan dengan dua kalimat syahadat; seorang yang telah baligh maka ia wajib mempelajari perkara-perkara yang diwajibkan atasnya, seperti shalat dsb; seorang yang hendak berhaji wajib mempelajari perkara haji; yang hendak menikah, mempelajari perkara nikah, dsb.

Keutamaan Ilmu

(1) Ilmu termasuk dari amal jariyah;

Satu dari tiga amalan yang tidak terputus setelah seseorang meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat.

(2) Ilmu merupakan pondasi amal;

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang haq selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)

Perhatikan bahwa perintah untuk berilmu (mengetahui) bahkan didahulukan dari perintah tauhid: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq selain Allah.”

(3) Menuntu ilmu setara dengan jihad;

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122)

(4) Allah memrintahkan nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu, bukan harta atau selainnya;

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha: 114)

(5) Ilmu merupakan salah satu sebab dimudahkannya jalan menuju syurga

Tujuan Menuntut Ilmu

Di antara tujuan menuntut ilmu adalah:
  • Mengharapkan ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala
  • Untuk mengangkat kebodohan dari diri kita dan orang lain

Sekian. Wallahu ta’ala a’lam.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadilah: 11)

[Disalin dari blog.its.ac.id/amikhwan]

Location: Surabaya, Indonesia
Posted in . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

4 Responses to Kewajiban Menuntut Ilmu

  1. MasyaaAllah... smangat menebar manfaat SMA Wahdah, remember to follback FUM Mks, gebyarkan dakwah sekolah!!!! ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah di-follback. Iyaa, gebyarkan dakwah sekolah! ^^
      Jazaakillah atas kunjungannya ..

      Hapus
  2. mohon dipasang di Tautan "Kunjungi Juga" dek.. Syukran

    BalasHapus

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.